Pages

Jumat, 18 November 2011

Pembantaian Orangutan, cermin keserakahan dan kebobrokan moral


Sebuah potret keserakahan terjadi tiap hari. Bahkan yang tidak bersalah pun menjadi korban. Kita hidup di suatu jaman dimana keselarasan dengan alam sudah tidak diperhatikan. Hutan dibabat tanpa penghijauan kembali, hewan-hewan penguhuninya diusir, dipukuli, bahkan yang langka, Orangutan pun dibantai. Sungguh miris dan menyedihkan.

Menurut National Geographic Indonesia, ada 750 (tujuh ratus lima puluh) Orangutan dibantai setiap tahun demi perkebunan sawit. Orangutan-orangutan menghadapi resiko bertemu manusia biadab untuk menjarah sawit karena memang tidak ada lagi makanan di wilayah hutan tempat mereka berlindung yang semakin sempit. Kurun waktu 1930 sampai tahun 2000-an, luas lahan yang ditempati orang utan berkurang sampai 50%. Itupun sebagian besar adalah hutan gundul yang tidak ada tanaman produktif.
Menanggapi laporan dari National Geographic Indonesia, Ahmad Fauzi Masyhud, juru bicara Kementrian Kehutanan Indonesia menyebutkan dirinya belum menerima laporan itu dan menganggapnya ‘bombastis’. Halo bapak jubir, apakah tayangan di RCTI itu tidak mengetuk sedikitpun rasa kasihan anda kepada Orangutan? Menurut UU No. 5 Tahun 1990, Orangutan itu termasuk hewan yang dilindungi oleh negara bersama banyak satwa langka lainnya. Harusnya Kemenhut tidak perlu menunggu laporan, tentunya lebih tahu keadaan satwa yang dilindungi secara proaktif. Kalo menunggu laporan namanya bukan melindungi. Capek saya denger birokrat ngeles mulu.
Dari reportase yang ditayangkan RCTI pula, sepertinya pihak yang terkait tidak punya keseriusan dalam mengusut kasus pembantaian ini. Hal ini menimbulkan banyak spekulasi diantaranya adanya kemungkinan pembiaran dalam hal kasus ini, atau menganggap karena ini bukan pembantaian manusia, hanya Orangutan saja. Mungkin akan lain cerita jika Orangutan punya keluarga pejabat dan/atau memiliki banyak uang untuk mengusut pembunuhan kerabatnya tersebut, ya?Peristiwa ini adalah cerminan moral yang bobrok dan serakah dari manusia modern. Alam sudah tidak dihargai sebagai salah satu bagian daripada dirinya. Kalo sudah begini, mana yang lebih primitif? Suku Anak Dalam di Jambi, Asmat dan Dani di Papua, atau Manusia Modern? Bagi saya, manusia modern lebih primitif. Menurut anda, apa yang sebaiknya bisa kita lakukan?

Tidak ada komentar: